MENJADI TELADAN SEJATI
Dari kiri: Aku, Billa, Ara, Hubba, Ida, Hanum, Rifda, Yoan, Ontine, Karina. (Temen satu kompi, pleton, dan kelas) |
Beberapa hari yang lalu, tepatnya di
hari jumat. Kalender menunjukkan hari itu bertanggal 22 Juli 2016. Hari dimana
aku dan tentunya teman-teman berangkat menuju ke Rindam IV Diponegoro, Magelang
untuk berlibur berlatih sekaligus belajar.
SMA Teladan Yogyakarta. Betapa
bangganya walaupun hanya sekedar melihat rumput di depan pagarnya. Loh, gimana
engga? Hasil perjuangan selama tiga tahun—walaupun yang benerannya cuma
setengah tahun—itu, yang bikin kepala kaya minta dilepas dari leher, mau
ngerasa biasa aja? Ngga. Banyak banget kesan yang aku dapet waktu pertama kali
masuk kesini. Aku dan semua Teladan60 diberi waktu adaptasi selama satu minggu.
Ngga gampang, tapi senang. Banget.
Ngga semuanya bakalan aku ceritain
disini. Seperti yang udah aku tulis diatas, aku fokusin ke Rindam IV Magelang.
Begitu dengar kabar dari sekolah, “Hari jumat kalian kelas sepuluh akan
mengikuti kegiatan Bela Negara di Magelang, tepatnya di Rindam IV.” Itu belum seberapa
senengnya. Nah, begitu dengar info tentang persiapannya, “Kalian nanti siang
berangkat bersama-sama naik TRUK TENTARA.”
Cuma moto rodanya, malu lah ya. (Ini namanya--roda--truk tentara) |
Wah, asli seneng banget. Kenapa?
Jadi, dulu sewaktu aku di SMP, kelas Sembilan tepatnya, ada sebuah program dari
Dewan Penggalang SMP-ku. Ya, aku adalah salah satu anggota dari DP. Program
tersebut memang bukan yang pertama kali, yaitu LDK (Latihan Dasar
Kepemimpinan). Yang membuat program ini sangatlah penting buat aku adalah,
tempat. LDK tersebut bertempat di sebuah Batalyon di daerah Wangon, Cilacap.
Jika mengingat hal tersebut memang sangat-sangat menyedihkan, ya. Bagaimana
tidak, aku yang hanya bisa melihat teman-temanku pada saat itu berangkat
menaiki truk tentara, bersama tentaranya sekaligus. Aku menangis saat itu.
Walaupun, aku memang ditugaskan untuk berangkat ke SMA Taruna Nusantara
mengikuti sebuah lomba disana. Aku tetap mensyukuri apa yang Allah SWT
kehendaki. Pada akhirnya? Ternyata Allah SWT memang memberikan yang paling
terbaik untuk semua hamba-Nya. Langsung kabarin ke orang tua, dan sedikit pamer
ke temen-temen SMP. Haha, ya begitulah.
Mau berangkat, cekrek. |
Truk pun berangkat, dan liburan
petualangan kami mulai! Sesampainya disana, kami dikumpulkan di sebuah ruangan,
aku menyebutnya aula (karena emang lupa namanya). Di ruangan tersebut, kami
dibagi menjadi beberapa kelompok. Tidak sembarang kelompok ya. Kami dibagi
menjadi dua kompi. Tiap kompi dibagi lagi menjadi tiga pleton. Bahkan, tiap
pleton pun masih dibagi enam kelas. Nah, sebenarnya tiap kelas dapet jatah
minimal dua pembimbing—dari perwakilan kakak kelas yang ikut— satu pembimbing
perempuan dan satu pembimbing laki-laki. Malangnya, kelasku, kelas F tidak
mendapat satupun pembimbing perempuan. Konsekuensinya, kami benar-benar
mandiri. Setiap akan baris, kami membariskan diri kami sendiri, tidak seperti
kelas-kelas lain yang dibariskan pembimbingnya. Kami sama sekali tidak
terpengaruh akan hal tersebut. Semangat yang ada tetap membara.
Hal yang benar-benar tak terduga
adalah saat kami diperlihatkan tempat kami menginap. Ya, barak. Yang aku
bayangkan di awal, aku pasti akan tidur di karpet atau bahkan hanya tenda. Baru
kali ini aku mendapatkan realita yang
lebih baik dari ekspektasi. Wah. Aku
tidur berdua bersama teman baruku, Hanum. Kaget, sih dengar namanya. Itu adalah
nama ibuku. Ya, jadi setiap aku manggil dia, yang ada dipikiranku, ya ibuku.
Sebelah kiri ku ada Billa. Ya, dia adalah kembaran dari Salsa. Nama mereka
hanya berbeda satu huruf saja. Wajah mereka? Tidak perlu dipertanyakan lagi.
Jadwal yang kami dapatkan sangat-sangat
padat. Di awal tadi, memang realita-nya
lebih bagus. Akan tetapi, ada juga yang realita-nya
lebih parah daripada ekspektasi. Banyak
diantara kami yang tidak sempat mandi. Termasuk aku, haha. Sekali lagi, itu
sama sekali tidak melunturkan semangat kami.
Salah satu jadwal yang menarik pada
hari pertama adalah saat renungan malam. Jujur, itu adalah pertama kalinya aku
benar-benar menangis sampai mengeluarkan air mata sebanyak itu. Mungkin karena
memang factor jarak dengan orang tuaku juga. Mulai SMA ini, aku tinggal sendiri
di kos. Sementara ayah dan ibuku tinggal di Cilacap. Secara keseluruhan, aku
memang merindukan mereka. Setelah renungan malam tersebut, kami bergegas untuk
tidur, tanpa mandi. Sebelum tidur, aku membuat sebuah strategi sederhana bersama
temanku. Yaitu dengan janjian bangun lebih awal, pukul tiga pagi. Ya, kami
menghindari antrian yang panjang agar dapat jatah untuk mandi. Setelah selesai
mandi, jam di hape-ku masih
menunjukkan pukul setengah empat pagi. Sedangkan, adzan subuh masih sekitar
satu jam lagi. Temanku yang tadi janjian dengan aku pun memutuskan untuk tidur
lagi. Entah kenapa, aku tidak merasa ngantuk saat itu. Akupun ngobrol dengan
Hanum, dan teman-teman yang lain.
Pada hari kedua kami, Sabtu tanggal
23, banyak hal yang cukup menarik. Hanya saja, yang sangat disayangkan adalah
setengah hari kami habiskan untuk memakai seragam OSIS. Padahal, kegiatan kami
didominasi kegiatan di lapangan. Pada pagi harinya, kami dilatih PBB. Bayangkan
saja, bagaimana rubes-nya memakai
seragam OSIS untuk berkeringat-keringat ria. Tapi, yasudahlah kami hanya bisa
mengikuti aturan saja. Sorenya, bisa dikatakan ini adalah saat yang paling
ditunggu oleh semua peserta termasuk kakak pembimbing kami. Ada suatu sesi
dimana seorang komandan tentara dating untuk memberikan motivasi kepada kami.
Kabarnya, komandan tersebut memang suka memberikan uang kepada anak yang aktif
bertanya ataupun menjawab pertanyaan. Yang ngasih info kaya gitu adalah salah
satu pelatih kita. Nah, bagian kerennya adalah saat komandan benar-benar
meberikan uang kepada salah dua temenku. Ya, salah satunya kakak kelas, sih.
Waktu temenku—Billa—dapet uang, dia sempet ditanya, “Kamu mau pakai uang ini
buat apa?” Tau apa yang dia jawab? “Jadi, tadi sebelum komandan datang, saya
sudah berdoa, kan tadi sudah diberi tahu juga sama pelatih kalo komandan memang
suka ngasih uang….” Belum selesai bicara, sontak semua isi ruangan tertawa.
Komandan jelas terkejut. Aku juga ketawa lah ya, bisa-bisa nya dia sepolos itu.
Keren lah, keren banget.
Selesai sesi komandan tadi, kami
bersiap untuk kegiatan Caraka Malam. Kalau di SMP biasa disebut Jerit Malam.
Ya, semacam melatih keberanian gitu. Tapi asli, jerit malam yang aku lakuin
walaupun udah kesekian kalinya ini rasanya greget
banget. Aku cuma jalan berdua—masih sama Billa—melewati gelapnya kompleks
rindam pada saat itu. Melewati bangunan asli Belanda yang memang terkenal
dengan, yaaa, itulaaah. Di sepanjang jalan, kami seerahkan semuanya kepada
Allah SWT. Kami terus membaca ayat-ayat al-qur’an. Alhamdulilah, kami selamat.
Hal lain yang membedakan caraka malam dengan jerit malam adalah pada bagian
pemnyampaian pesan. Jadi, tidak hanya sekedar jalan lalu ditakut-takuti, tapi
kami juga harus membawa sebuah pesan yang dari awal sudah diberikan oleh pelatih.
Aku hampir saja akan tercelup kedalam ember karena gagal menyampaikannya dengan
tepat. Alhamdulillah, pelatih memberiku toleransi dua kali. Aku pun berhasil!
Hari favorit-ku adalah hari terakhir. Selain karena kami akan
pulang—haha—kami juga mendapat jadwal outbound,
walaupun hanya satu jam, ya, sangat menyedihkan. Nggapapa, jalanin aja. Outbound adalah kegiatan terakhir kami
di rindam. Setelah membersihkan diri dan bersiap untuk pulang, kami pun menaiki
lagi truk tentara, dan pulang.
Sangat banyak pelajaran, kesan, dan
pesan yang aku dapat dari rindam. Selain aku bisa menaiki truk tentara, menjadi
lebih menghargai waktu, akupun bisa mendapat lebih banyak teman dan pengalaman
yang sangat-sangat berharga tentunya. Untuk temanku juga, dia bisa mendapat
uang, haha. Membela Negara bukanlah hanya tugas tentara, polisi, ataupun pengak
hokum lainnya saja. Semua yang memang asli Warga Negara Indonesia memiliki
kewajiban tersebut. Walaupun hanya sekedar “Tidak merendahkannya.” Semua butuh
perjuangan, semua butuh proses, dan yang terpenting, semua membutuhkan
semangat. Sekian.
Rindam, 22-24
Juli 2016.
PS: Ini sebenernya tugas essay, jadi bahasanya baku gitu, haha.
Comments
Post a Comment