“Eh, disini
aja gimana?” “Boleh. tempatnya juga
enak,” kata Hani yang menjawab usulan dari Avil. “Kalian baru datang, ya?
Langsung registrasi aja di sekretariatan,” kata salah seorang panitia sambil
menunjuk ke sebuah bangunan sederhana yang berjarak 50 meter di depan mereka.
Adzan
berkumandang, Hani, yang merupakan ketua sangga akhirnya membagi tugas untuk
teman-temannya. “Sekarang sholat dulu aja, yang nggak sholat mbangun
tenda, ya.” Seperti biasa, Avil pergi bersama dengan Lita. “Sholatnya dimana,
Han?” tanya Lita kepada Hani. “Itu, loh, deket sekretariatan,” Hani
mengacungkan jarinya ke arah selatan “Oalah, oke, makasih.”
Hani merendahkan
tubuhnya menempelkan lututnya ke tanah melihat teman-teman yang sedang memasak
untuk lomba “Sini, aku bantu.” “Hah, emang kamu bisa?” “Loh, loh, loh!
Jangan salah, gini-gini aku pernah jadi juara masak.” “Hah? Masa?
Kok, bisa?” teman-temannya terkejut tak percaya. “Lomba dimana kamu?”
Ajeng mulai curiga. “Di rumahku, ibuku yang menjadi juri.” Hani menjawab dengan
memasang muka yang teramat polos bagaikan tembok tanpa semen. Suasanapun pecah
dan menghangat. Sembari memasak, teman-teman lain mengikuti berbagai lomba
sesuai pembagian tugas yang telah disetujui.
× ×
× × ×
Avil duduk
didekat bara api yang berkobar dan serpihannya berterbangan seperti akan
menyentuh langit. Malam itu, “Langitnya bersih banget, ya?” Avil berkata
kepada Lita. “Kalo malem-malem, bintangnya nggak kelihatan, itu
berarti disini terlalu terang.” Avil menjelaskan. “Gelap gini juga, mana
coba bagian yang kelebihan cahaya?” Lita menolak pendapat sok tahunya. “Ya,
itu, kamu liat aja ada lampu dimana-mana. Bintangnya kalah terang.” “Oh,
iya juga, sih,” kata Lita mengalah. Mereka, Avil, Lita, dan teman-teman
satu sangganya duduk bersama di lapangan sambil menikmati hangatnya api unggun
yang baru saja dinyalakan. Avil salah fokus melihat beberapa teman satu
sangganya yang sedang saling mencurahkan isi hatinya (baca: curhat). Ia
berkata kepada Lita, teman dekatnya, “Kenapa, ya, kok aku jarang banget,
bahkan, nggak pernah yang namanya curhat. Kapan aku bisa kaya
mereka.” “Loh, emang apa istimewanya mereka?” Lita mengangkat dahinya
dan mengalihkan pandangannya kepada Avil. Sambil memandang langit yang senyap,
Avil membalasnya, “Ya, mereka bisa mikirin tentang cowok, gebetannya
lah, orang yang naksir sama mereka lah, orang yang selalu nge-chat mereka
lah, lah, lah.” Lita menegakkan punggungnya dan membenahkan posisi tubuhnya, nampaknya
ia akan menanggapinya dengan serius. Ia tidak pernah terima bila orang,
terutama cewek, hanya mementingkan kekasihnya. Padahal, mereka bukan
siapa-siapanya. “Buat apa cowok? Cowok mereka bisa nafkahin mereka? Bisa ngasih
makan pake uang mereka? Bisa banggain orang tua mereka?” “Ya, kan, keren aja
gitu. Kita bisa tiap hari chatting –an, ketemuan, ngobrol bareng, jalan
bareng. Ah, soooo-sweeeett,” Avil masih menatap dalam api unggun yang
mulai hangus. “Hah? Keren katamu? Kamu kayanya harus tidur sekarang,
deh, Vil. Sejak kapan pikiranmu jadi kaya gitu?” “Ya, sejak
ngelihat temen-temen yang terlihat keren aja bisa ngebahas tentang cowok yang
suka sama mereka. Nggak kaya aku, ada yang ngelirik aja enggak.
Sedih.” “Astaghfirullahal’adziim, Vil! Sadar, Vil! Sadar! Perjalananmu
di dunia itu masih panjang. Banget. Sekolahmu masih nunggu medali-medali cantik
selanjutnya dari kamu. Kamu nggak inget betapa bahagianya kamu, betapa
kamu ngerasa keren ada di depan banyak orang, bahkan nggak cuma temen
satu sekolah kamu doang, dan foto sama bapak presiden waktu itu? Nggak
usah terlalu jauh, deh, sekarang, sangga kita aja masih menggantungkan
nasibnya ke kamu, Vil.” “Hmm, ada benernya juga, sih, kamu.”
× ×
× × ×
Malam semakin
larut. Angin yang memasuki pori-pori seragam Avil semakin terasa. Ia dan Lita
pun memutuskan untuk pergi ke tenda untuk tidur. “Ayo, tidur, udah
tambah dingin, nih, udah malem juga.” Avil berdiri sambil memegang
tangan Lita yang sedang menarik tangannya untuk membantunya menegakkan diri.
“Ah, nanti, deh, masih seru ini, tanggung dikit lagi,” sahut
Ajeng. “Iya, kalian duluan aja, kami nanti nyusul,” Fuli menambahkan. Mereka
yang sedang asik membahas hal yang masih sama, memang susah untuk
dihentikan. Avil dan Lita pun
melangkahkan kakinya menjauh dari kerumunan dan meninggalkan api unggun yang
menyisakan abunya.
× ×
× × ×
"Temen-temen!
Ayo, bangun! Upacaranya udah mau mulai, tuh!" Hani beteriak
sambil memegang handuk yang masih basah. Terlihat paling segar wajahnya dan
sudah siap dengan pakaian pramuka lengkapnya. "Ayo, ayo! lima menit lagi
kita harus udah ke lapangan!" Lita tiba-tiba muncul dari sisi lain
tenda sangga mereka. "Hoaam, masih ngantuk, nih!"
"Iya, aku ngantuk banget, kami nggak usah ikut upacara, ya?" Fuli
yang masih mengeratkan kepalanya dengan bantal bak mengigau berbicara dengan
Hani dan Lita. "Bukan begitu, masalahnya upacara kali ini harus lengkap
satu sangga, tidak boleh diwakilkan," dengan tenang dan berusaha mengontrol
nada bicaranya, berharap agar dapat dimengerti oleh teman-temannya, Hani duduk
dengan tumpuan lututnya. "Emangnya kenapa?" Fuli masih belum mau
mengalah. "Bapak kepala sekolah akan datang dan kita semua akan diberi
penilaian." Semua anak yang sejak tadi masih memejamkan matanya sekarang
langsung bangkit seraya mengambil peralatan mandinya. Suasana menjadi tidak
beraturan di dalam tenda sangga mereka. Tanpa memikirkan kondisi di sekitarnya,
mereka berlarian menuju tempat yang sama, kamar mandi. Sayang seribu sayang.
Semua kamar mandi penuh sesak oleh para siswa yang mandi dan mengantri untuk
menunggu giliran berikutnya. Alhasil, Fuli dan kawan-kawannya hanya mencuci
muka di kran.
Peluit ditiup,
memanggil seluruh peserta kemah untuk berkumpul ke lapangan upacara.
× ×
× × ×
"Bubar,
jalan!"
"Alhhamdulillah,
selesai juga, bisa tidur, deh!" Fuli berjalan santai sambil menengadahkan
kepalanya keatas, membentangkan kedua tangannya, bersyukur kepada Sang Maha
Kuasa. "Eh, eh, eh, siapa bilang? Kalian punya waktu 30 menit buat
ganti baju lapangan, dan selanjutnya kita akan bersenang-senang bersama!"
Hani berlari merangkul Fuli yang sedang berjalan dengan teman-tenannya dari
arah belakang. Fuli dan teman-temannya berdiri pasrah. Semua tubuhnya melemas.
Degup jantungnya berhenti sejenak. Matanya tak sanggup lagi memfokuskan benda
yang dilihatnya.
Lita yang sudah
siap dengan baju lapangannya menyambut kehadiran Fuli dan kawan-kawannya dari
dalam tenda. "Ful, kamu udah belajar buat LCTP nanti, kan?" "Hah,
LTCP?" Fuli menatap Lita terkejut atas apa yang ia dengar. Ia sama sekali
tidak mengetahui tentang pramuka. Apa itu? LCTP? Bahasa daerah mana? Ia sama
sekali tak mengetahuinya. "Yah, Lit, Fuli mana tau tentang kaya gituan,"
Fina tertawa kecil memojokkan Fuli. "Hey, Fin, kamu juga udah siap,
kan? Nanti kalian berdua, bersama dengan Avil akan mengitkuti LCTP tahap
satu." "HAH!?"
× ×
× × ×
"Eh,
Fin." "Ya?" Fuli merebahkan badannya ke pohon, memulai
percakapan. "Kok, aku kepikiran dia terus, ya," "Yah,
kamu tu, udah, deh, yang lalu biarlah berlalu. Lagian, masih banyak, kok,
cowok lain yang lebih baik dari dia." "Ya, tapi, kan...,"
Percakapan
mereka terdengar hingga ke dalam tenda membuat Avil yang semula sedang serius
belajar merasa terganggu. Ia dan Lita memutuskan untuk meninggalkan tenda.
Mereka berkeliling melihat-lihat tenda lain sembari berkenalan dengan sangga
lainnya.
× ×
× × ×
"Hmm,
aku heran sama mereka. Pikirannya cowoookk mulu. Padahal, nanti, kan,
mereka mau lomba.Ya, iya, sih, kita bertiga. Tapi, kita, kan,
harusnya kerja tim!" Avil sudah tidak bisa lagi menahan kegeramannya.
× ×
× × ×
"Semua
peserta kemah harap segera menuju ke tempat perlombaan masing-masing. 5 menit
lagi lomba akan dimulai."
"Ayo, ayo,
segera ke spot-nya masing-masing, ya!" Hani menegaskan.
× ×
× × ×
"Jadi,
dibabak penyisihan ini akan terpilih 1 orang dari tiap sangga untuk maju ke
babak selanjutnya...," juri menjelaskan teknis lomba. Sontak suasana
menjadi bising. LCTP kali ini memang berbeda dari LCTP-LCTP sebelumnya. Tak
sesuai ekspektasi, Avil dan teman satu kelompoknya kebingungan. "Baiklah,
begini saja. Kita lakuin aja apa yang kita bisa, maksimalkan kemampuan
kita, tetap tenang apapun yang terjadi," Avil memberi semangat kepada
teman-temannya. Fani dan Fuli hanya bisa menelan ludahnya hingga seluruh
lidahnya kering, tak tahu lagi harus bagaimana.
Mereka bertiga
memasuki ruang seleksi yang berbeda. Fani dan Fuli semakin kebingungan.
Keringat begitu saja tumpah membasahi seluruh tubuh mereka. Berjalan lemas
memasuki ruangan seleksi. Kantuk yang sejak tadi mereka empat, sudah tak bisa
lagi mereka bendung. Alhasil, dengan mengabaikan kertas kosong di depan muka,
mereka memejamkan mata begitu saja.
× ×
× × ×
"Tadi
gimana soalnya? Optimis, kan?" dengan penuh harap, Avil bertanya
kepada teman-temannya. Tak digubris sedikit pun, Fina dan Fuli yang sedang sibuk melihat ke arah tenda
laki-laki malah membicarakan hal yang lain. "Eh, eh! Lihat itu,
Ful" "Siapa? Siapaa?" "Ituu, dia, yang aku ceritain tadi malem,
yaelah, masa udah lupa, sih?" Fani dan Fuli fokus
melirik kearah yang sama tanpa mempedulikan Avil yang sedang berdiri dihadapan
mereka.
"Lagi,
lagi," Avil mencurahkan semuanya kepada Lita di dalam tenda.
× ×
× × ×
Upacara
penutupan perkemahan sekaligus pengumuman hasil pemenang pun segera dimulai.
"Dan, untuk kategori peserta terbaik perkemahan tahun 2017 jatuh kepada...
Kavila Ghina Prihandita!" Semua peserta langsung mengerubungi dan memberi
selamat kepada Avil. Ia pun mendekati Lita dan berkata, "Kamu benar. Hidup
ini, sulit. Apa yang kita miliki, apa yang kita mampu lakukan, susah untuk kita
sadari. Padahal, itu adalah jalan kita untuk mendapatkan apa yang kita
inginkan."
Jadilah
dirimu sendiri.
Identitas
Penulis
·
Nama : Alifia Rizqy Ramadhania Prihandita
·
Kelas : XI MIA 6
·
NIS : 15012
·
T/Tgl Lahir : Cilacap, 4 Desember 2000
Comments
Post a Comment